share

WTO Nilai Uni Eropa Diskriminasi Sawit Indonesia, Ini Respons Airlangga

Jakarta — Pemerintah Indonesia masih menunggu respons resmi dari Uni Eropa terkait putusan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation/WTO) yang menyoroti praktik diskriminasi terhadap minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan biofuel asal Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa pemerintah siap menghadapi kemungkinan banding dari Uni Eropa, sembari menunggu keputusan dalam tenggat waktu yang telah ditetapkan.

“Kita tunggu 60 hari, apakah Uni Eropa akan menerima atau tidak menerima putusan tersebut. Kalau mereka mengajukan banding, mekanismenya sudah ada dan akan dijalankan sesuai aturan yang berlaku,” ujar Airlangga saat ditemui di kantornya di Jakarta pada Senin (20/1).

Keputusan WTO ini muncul setelah laporan panel yang dirilis pada 10 Januari 2025 menyimpulkan bahwa Uni Eropa telah melakukan diskriminasi terhadap minyak kelapa sawit dan biofuel Indonesia. Laporan tersebut menyoroti bahwa kebijakan Uni Eropa, khususnya dalam Renewable Energy Directive (RED) II, memberikan perlakuan yang tidak adil dan merugikan bagi produk Indonesia. Hal ini mencakup evaluasi yang tidak tepat terhadap data terkait dampak alih fungsi lahan kelapa sawit yang disebut berisiko tinggi (high ILUC-risk), serta kekurangan dalam penyusunan dan penerapan kriteria serta prosedur sertifikasi risiko rendah ILUC (low ILUC-risk).

Dalam konteks kebijakan insentif pajak untuk biofuel, WTO juga menemukan diskriminasi dalam pelaksanaan The French TIRIB (The Incentive Tax Relating to Incorporation Biofuels) di Prancis. Insentif ini terbukti hanya diberikan kepada biofuel berbasis minyak rapeseed dan soybean, sementara biofuel berbasis kelapa sawit dikecualikan secara tidak adil. Hal ini dinilai melanggar prinsip perdagangan yang adil dan merugikan posisi Indonesia di pasar global.

Putusan WTO ini memiliki implikasi yang signifikan karena sifatnya mengikat baik untuk Indonesia maupun Uni Eropa. Uni Eropa diwajibkan untuk menyesuaikan kebijakan dalam Delegated Regulation guna memastikan kesesuaiannya dengan aturan WTO. Proses ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk memperbaiki hubungan perdagangan antara kedua pihak, sekaligus meningkatkan akses produk Indonesia ke pasar Eropa.

Airlangga juga mengungkapkan harapan bahwa putusan ini dapat mempercepat penyelesaian perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement/IEU-CEPA). Menurutnya, kemajuan dalam perundingan ini penting untuk menciptakan hubungan dagang yang lebih setara dan saling menguntungkan.

“Harapan kita seperti itu, mempercepat penyelesaian perundingan. Targetnya semester ini selesai,” ujar Airlangga dengan optimisme. Ia juga menekankan pentingnya kerja sama yang lebih erat antara Indonesia dan Uni Eropa untuk memastikan keberlanjutan perdagangan yang adil dan inklusif di masa mendatang.

Putusan WTO ini dipandang sebagai kemenangan penting bagi Indonesia dalam upayanya melawan diskriminasi terhadap produk sawit di pasar internasional. Meski tantangan masih ada, pemerintah optimistis bahwa hasil ini dapat memberikan pijakan yang lebih kuat dalam memperjuangkan kepentingan nasional di ranah global.