Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa meningkatnya ketegangan geopolitik global, terutama akibat instabilitas di kawasan Timur Tengah, menjadi ancaman serius bagi prospek pertumbuhan ekonomi dunia. Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, dalam konferensi pers daring yang digelar usai Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK pada Jumat (1/11), menyampaikan bahwa ketidakpastian geopolitik ini memicu lonjakan harga pada komoditas yang dianggap sebagai aset safe haven, seperti emas, dan menimbulkan peningkatan signifikan pada premi risiko global.
Menurut Mahendra, kondisi ini berdampak langsung pada pergerakan modal internasional, di mana investor mencari perlindungan dari risiko melalui aset yang lebih aman dan menghindari pasar negara berkembang. Aliran modal keluar dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menjadi tren yang kian nyata. Hal ini dipicu oleh peningkatan imbal hasil atau yield yang menarik investor menuju pasar negara-negara maju.
Meski demikian, Mahendra menekankan bahwa sektor jasa keuangan domestik masih terjaga stabil meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan eksternal. Ia menyebutkan bahwa OJK, melalui evaluasi dari Rapat Dewan Komisioner Bulanan pada 30 Oktober 2024, menilai bahwa stabilitas di sektor jasa keuangan Indonesia tetap solid meskipun terdapat tekanan dari ketidakpastian global. “Stabilitas sektor jasa keuangan tetap terjaga dengan baik, walaupun risiko geopolitik meningkat dan aktivitas ekonomi global mengalami pelemahan,” ujar Mahendra.
Mahendra juga mengungkapkan adanya divergensi dalam pertumbuhan ekonomi di beberapa negara utama. Di Amerika Serikat, misalnya, perekonomian mencatat kinerja yang lebih baik daripada ekspektasi sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi AS yang kuat didukung oleh solidnya pasar tenaga kerja serta kenaikan permintaan domestik, menunjukkan ketahanan ekonomi yang relatif stabil meskipun tekanan eksternal terus meningkat.
Namun, situasi berbeda terlihat di Tiongkok, di mana pertumbuhan ekonomi pada triwulan ketiga menunjukkan pelambatan, baik dari sisi permintaan maupun pasokan. Pelambatan ini memaksa pemerintah dan bank sentral Tiongkok untuk terus meluncurkan berbagai stimulus guna mempertahankan laju perekonomian mereka. Langkah-langkah ini dilakukan sebagai upaya menjaga stabilitas di tengah tantangan ekonomi yang semakin kompleks.
Di dalam negeri, OJK mengidentifikasi bahwa kinerja ekonomi nasional pada umumnya masih cukup stabil di tengah kondisi global yang melemah. Indikator seperti inflasi inti tetap terkendali, dan neraca perdagangan mencatat surplus pada bulan Juli 2024, memberikan sinyal positif bagi ketahanan ekonomi domestik. Meskipun demikian, Mahendra memperingatkan adanya beberapa indikator yang memerlukan perhatian lebih, seperti Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur yang masih berada di zona kontraksi.
PMI Manufaktur Indonesia berada di level 49,2 pada Oktober 2024, menandakan bahwa sektor manufaktur mengalami kontraksi selama empat bulan berturut-turut berdasarkan data dari S&P Global. Kondisi ini menunjukkan adanya tantangan dalam sektor produksi, dan diperkirakan akan memberikan dampak terhadap daya beli dan aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
OJK menilai, meskipun kinerja sektor jasa keuangan tetap solid, tantangan eksternal serta pemulihan daya beli yang berlangsung lambat tetap menjadi faktor penting yang harus diwaspadai.