share

BI Rate Turun ke 5,75 Persen: Sinyal Positif bagi Pertumbuhan Kredit, Properti, dan UMKM

Dalam langkah strategis yang menandai komitmen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, Bank Indonesia (BI) melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 14-15 Januari 2025 memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen. Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan berbagai dinamika ekonomi global dan domestik, serta dalam upaya mendukung ekspansi kredit yang lebih besar di sektor perbankan.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan bahwa kebijakan ini diharapkan dapat mendorong perbankan untuk lebih aktif menyalurkan kredit ke berbagai sektor produktif. Dalam konferensi pers usai RDG di Jakarta, Perry menjelaskan bahwa penurunan suku bunga acuan ini akan memperkuat preferensi bank untuk menyalurkan dana mereka ke sektor kredit dibandingkan menempatkannya dalam instrumen keuangan seperti Surat Berharga Negara (SBN) atau Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Langkah ini diharapkan mampu meningkatkan daya dorong terhadap pertumbuhan ekonomi.

Menurut data yang disampaikan Perry, pertumbuhan kredit perbankan pada tahun 2024 telah mencapai 10,39 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Angka ini berada dalam kisaran target yang telah ditetapkan BI, yaitu 10 hingga 12 persen. Dengan penurunan BI Rate, prospek pertumbuhan kredit pada tahun 2025 diproyeksikan meningkat ke kisaran 11 hingga 13 persen. Pertumbuhan ini didukung oleh kebijakan makroprudensial yang longgar, yang memberikan insentif kepada perbankan untuk menyalurkan kredit ke sektor-sektor prioritas, termasuk properti, otomotif, dan UMKM.

Perry menambahkan bahwa penurunan suku bunga acuan ini juga bertujuan menciptakan likuiditas yang lebih besar di pasar keuangan, sehingga perbankan memiliki kapasitas yang cukup untuk memperluas portofolio kredit mereka. Hingga minggu kedua Januari 2025, Bank Indonesia telah menyalurkan insentif Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) sebesar Rp295 triliun, meningkat dari Rp259 triliun pada akhir Oktober 2024. Dukungan ini menunjukkan komitmen Bank Indonesia dalam memastikan stabilitas likuiditas sekaligus mendorong ekspansi kredit.

Berdasarkan kelompok penggunaan, pertumbuhan kredit pada 2024 mencatat kinerja yang solid. Kredit modal kerja tumbuh sebesar 8,35 persen secara tahunan, kredit investasi naik 13,62 persen, dan kredit konsumsi meningkat 10,61 persen. Sementara itu, pembiayaan berbasis syariah juga menunjukkan perkembangan yang positif dengan pertumbuhan 9,87 persen, sedangkan kredit untuk UMKM tumbuh sebesar 3,37 persen. Angka-angka ini mencerminkan adanya peningkatan aktivitas ekonomi di berbagai sektor, didukung oleh upaya pemerintah dan Bank Indonesia dalam menciptakan ekosistem yang kondusif.

Namun, langkah ini tidak lepas dari tantangan. Arianto Muditomo, seorang pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran, mengingatkan bahwa penurunan BI Rate dapat menimbulkan risiko capital outflow, terutama di tengah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Ia menjelaskan bahwa penurunan suku bunga berpotensi mengurangi daya tarik aset berbasis rupiah bagi investor asing, sehingga meningkatkan tekanan terhadap stabilitas nilai tukar.

Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah dapat memicu inflasi impor yang lebih tinggi, mengingat ketergantungan Indonesia pada sejumlah barang impor strategis. Dengan prospek penguatan dolar AS di bawah kebijakan fiskal ekspansif Amerika Serikat, Bank Indonesia perlu terus menjaga stabilitas pasar keuangan domestik melalui intervensi dan penguatan cadangan devisa.

Meski demikian, dampak positif dari penurunan BI Rate ini diharapkan dapat lebih besar dibandingkan risiko yang ada. Sektor properti dan UMKM diproyeksikan menjadi penerima manfaat utama, dengan biaya pinjaman yang lebih rendah memberikan stimulus pada daya beli masyarakat dan mendorong investasi. Kebijakan ini sekaligus menunjukkan komitmen Bank Indonesia dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional di tengah tantangan global yang dinamis.