share

Tekanan Kenaikan Harga Bahan Baku: Beban Berat Bagi Industri Manufaktur Indonesia

Meskipun Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia menunjukkan peningkatan signifikan pada Desember 2024, sektor ini masih menghadapi tantangan berat yang berpotensi menghambat laju pertumbuhannya. Salah satu masalah utama yang menjadi sorotan adalah lonjakan harga bahan baku yang terus menekan perusahaan manufaktur di berbagai lini.

Yusuf Rendy Manilet, peneliti dari Center of Reform on Economic (CoRE) Indonesia, menjelaskan bahwa tekanan kenaikan harga bahan baku telah menjadi salah satu faktor penghambat utama sejak bulan-bulan terakhir tahun 2024. Dalam wawancara pada Jumat (3/1), Yusuf menyebut bahwa meski permintaan dan produksi baru menunjukkan peningkatan, lonjakan biaya operasional masih menjadi kendala besar bagi perusahaan untuk memaksimalkan kapasitas produksi mereka.

Kenaikan biaya bahan baku ini memiliki dampak signifikan terhadap efisiensi operasional perusahaan. Bagi pelaku industri kecil dan menengah, tekanan ini terasa lebih berat karena keterbatasan modal dan margin keuntungan yang tipis. Hal ini diperburuk oleh dinamika pasar global, di mana ketidakpastian rantai pasok dan fluktuasi harga komoditas menambah beban yang harus ditanggung oleh pelaku industri manufaktur.

Ketatnya persaingan pasar, baik di tingkat domestik maupun internasional, turut menambah kompleksitas tantangan yang dihadapi. Yusuf menekankan pentingnya peningkatan daya saing manufaktur Indonesia di tengah tekanan global. Menurutnya, daya saing industri ini mencakup berbagai aspek, mulai dari kemampuan untuk mengakses bahan baku berkualitas dengan harga kompetitif hingga penguatan inovasi produk yang mampu bersaing di pasar ekspor.

Tantangan lain yang tidak kalah penting adalah isu ketenagakerjaan. Data menunjukkan adanya peningkatan indeks ketenagakerjaan untuk pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir. Namun, Yusuf menilai pertumbuhan ini masih terlalu kecil untuk memberikan dampak signifikan pada pemulihan sektor. Ia menyoroti perlunya strategi yang lebih terarah untuk mendorong penciptaan lapangan kerja yang mampu menopang pertumbuhan manufaktur secara berkelanjutan.

Dalam menghadapi tantangan ini, Yusuf menilai bahwa pemerintah perlu mengadopsi pendekatan yang lebih komprehensif. Salah satu langkah penting adalah memberikan insentif investasi untuk mendorong pengembangan teknologi dan efisiensi produksi. Ia juga menyarankan pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang dapat memastikan akses perusahaan terhadap bahan baku dengan harga terjangkau.

Selain itu, Yusuf menekankan perlunya menjaga daya beli masyarakat agar permintaan terhadap produk manufaktur tetap stabil. Dengan daya beli yang kuat, industri manufaktur dapat mempertahankan momentum produksi dan bahkan meningkatkan kapasitasnya. Di sisi lain, dukungan terhadap inovasi produk juga perlu ditingkatkan untuk memastikan bahwa produk-produk manufaktur Indonesia dapat bersaing di pasar global.

Yusuf optimistis bahwa dengan langkah-langkah yang terukur dan sinergi antara pemerintah dan pelaku industri, sektor manufaktur Indonesia dapat mengatasi tantangan yang ada. Ia percaya bahwa transformasi sektor ini tidak hanya akan memperkuat fondasi ekonomi nasional, tetapi juga membuka jalan bagi pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.