Ketidakpastian dalam kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) kembali menjadi sorotan setelah Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan bahwa kondisi tersebut telah memaksa investor membatalkan rencana investasi senilai Rp300 triliun. Sekretaris Jenderal Kemenperin, Eko S.A. Cahyanto, menegaskan bahwa situasi ini tidak hanya berdampak pada sektor industri, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi nasional akibat hilangnya potensi lapangan kerja dan produksi yang seharusnya bisa berjalan.
Dalam dialog nasional bertajuk Optimalisasi Kawasan Industri: Upaya Mencapai Target Pertumbuhan Ekonomi 8% di Era Pemerintahan Prabowo Melalui Industri Manufaktur, yang berlangsung di Jakarta pada Kamis (6/2), Eko mengungkapkan bahwa sejumlah investor telah melakukan berbagai persiapan untuk pembangunan pabrik, termasuk pembelian lahan di kawasan industri. Namun, akibat ketidakjelasan mengenai harga gas, mereka akhirnya membatalkan proyek yang telah direncanakan.
Menurut Eko, stabilitas harga gas sangat penting bagi industri manufaktur karena gas bumi merupakan salah satu komponen utama dalam biaya produksi. Tanpa kepastian harga, investor enggan untuk mengambil risiko besar dalam membangun fasilitas produksi di Indonesia. Pemerintah, kata dia, harus segera memberikan solusi konkret agar daya saing industri tetap terjaga.
Saat ini, kebijakan HGBT hanya diberikan kepada tujuh sektor industri, yakni keramik, pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, kaca, dan sarung tangan karet, dengan kisaran harga US$6 hingga US$6,5 per million british thermal unit (mmbtu). Kemenperin mengusulkan agar insentif tersebut diperluas ke sektor lain, termasuk para tenant di kawasan industri yang juga membutuhkan harga gas yang lebih kompetitif.
Di sisi lain, Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI), Sanny Iskandar, mengkritisi ketidakmerataan distribusi kuota gas bagi industri yang telah mendapatkan HGBT. Menurutnya, PT Perusahaan Gas Negara (Persero) atau PGN hanya memberikan kuota sekitar 40% hingga 45% dari total kebutuhan industri, sehingga banyak pelaku usaha yang masih harus membeli gas dengan harga lebih tinggi di luar kuota yang tersedia.
Meskipun kebijakan HGBT telah diperpanjang, keterbatasan kuota ini tetap menjadi kendala utama bagi industri dalam merencanakan produksi jangka panjang. Sanny juga menyoroti perbedaan harga gas yang bergantung pada lokasi industri. Semakin jauh sebuah kawasan industri dari sumber pasokan gas, semakin mahal harga yang harus dibayar oleh pelaku usaha.
Perbedaan ini menciptakan tantangan besar bagi industri yang berlokasi di daerah yang tidak memiliki akses langsung ke sumber gas. Jika penggunaan gas melebihi kuota yang ditetapkan, harga yang harus dibayar bisa melonjak hingga US$15 hingga US$16 per mmbtu, hampir tiga kali lipat dari harga HGBT yang telah disubsidi pemerintah.
Dengan situasi seperti ini, baik Kemenperin maupun para pelaku industri berharap ada langkah konkret dari pemerintah untuk memastikan kebijakan harga gas yang lebih merata dan berkelanjutan. Tanpa kepastian tersebut, bukan hanya investasi yang berisiko terus menurun, tetapi juga daya saing industri nasional yang bisa semakin tergerus oleh negara-negara lain yang menawarkan harga gas lebih kompetitif bagi investor mereka.