share

Indonesia Gagal Tangani Deindustrialisasi dan Membiarkan Utang Membengkak

Pakar ekonomi senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J. Rachbini, mengeluarkan analisis tajam terkait kondisi perekonomian Indonesia yang menurutnya telah gagal mengatasi deindustrialisasi dini serta membiarkan utang negara membengkak tanpa kendali. Dalam catatan akhir tahunnya, Didik memperingatkan bahwa tanpa reformasi besar-besaran, target ambisius pertumbuhan ekonomi hingga 8% hanya akan menjadi sekadar ilusi politik yang jauh dari kenyataan.

Didik menyoroti masalah yang terjadi di sektor industri nasional, yang selama bertahun-tahun menunjukkan tanda-tanda pelemahan serius. Menurutnya, sektor ini hanya mampu mencatatkan pertumbuhan rata-rata 3-4% setiap tahun, angka yang jauh dari cukup untuk menopang ekonomi nasional. Kondisi ini, menurut Didik, mencerminkan pengabaian pemerintah terhadap salah satu sektor kunci perekonomian, sehingga tidak mengherankan jika target pertumbuhan 7% yang dijanjikan pada era pemerintahan Jokowi tidak pernah tercapai. Lebih buruk lagi, harapan untuk mencapai target pertumbuhan 8% pada pemerintahan mendatang dianggap semakin tidak realistis jika tidak ada langkah konkret untuk memperbaiki fundamental ekonomi.

Dalam analisisnya, Didik mengidentifikasi deindustrialisasi dini sebagai akar masalah. Ia mengusulkan perlunya strategi reindustrialisasi yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya alam secara maksimal dengan orientasi ekspor. Ia mengingatkan bahwa pendekatan serupa pernah membawa kesuksesan bagi Indonesia pada era 1980-an dan awal 1990-an. Strategi ini, menurutnya, harus dihidupkan kembali dengan penyesuaian terhadap dinamika ekonomi global saat ini. Tanpa langkah ini, stagnasi ekonomi yang tengah dihadapi hanya akan berlanjut tanpa menawarkan solusi berarti.

Utang pemerintah juga menjadi salah satu isu utama dalam analisis Didik. Per September 2024, total utang Indonesia telah mencapai Rp8.473,90 triliun, dengan rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) melonjak dari 26% pada tahun 2010 menjadi 38,55% pada tahun ini. Menurut Didik, angka tersebut mencerminkan pengelolaan anggaran yang tidak sehat dan terlalu bergantung pada utang sebagai solusi instan. Ia mengkritik kebijakan pemerintah yang disebutnya mengikuti teori ‘budget maximizer’, di mana anggaran terus diperbesar tanpa adanya mekanisme pengawasan dan keseimbangan yang memadai.

Suku bunga obligasi yang tinggi di Indonesia juga tidak luput dari perhatian Didik. Dengan tingkat bunga sekitar 7,2%, Indonesia mencatat angka tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Sebagai perbandingan, tingkat bunga di Thailand hanya 2,7%, Vietnam 2,8%, dan Malaysia 3,9%. Kondisi ini, menurut Didik, mengakibatkan beban yang sangat berat bagi keuangan negara, di mana setiap tahun pemerintah harus mengalokasikan Rp441 triliun hanya untuk membayar bunga utang. Didik menegaskan bahwa kebijakan ini secara langsung menguras pajak rakyat demi menutupi kesalahan strategi fiskal pemerintah.

Tidak hanya itu, alokasi belanja negara yang semakin tidak produktif turut disoroti. Selama satu dekade terakhir, porsi belanja untuk pegawai dan barang justru meningkat dari 34% pada tahun 2014 menjadi 36% pada tahun 2024. Di sisi lain, belanja produktif untuk pembangunan infrastruktur dan sektor-sektor prioritas justru mengalami penyusutan. Didik memperingatkan bahwa struktur anggaran yang tidak sehat ini tidak hanya berdampak pada kondisi ekonomi saat ini, tetapi juga akan menjadi beban berat bagi pemerintahan di masa depan.

Diversifikasi pasar ekspor Indonesia juga dinilai berjalan lamban. Ketergantungan yang terlalu besar pada pasar tradisional seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan Uni Eropa telah membuat neraca perdagangan Indonesia stagnan. Didik mendesak pemerintah untuk lebih agresif menjangkau pasar-pasar baru di kawasan Asia Selatan, Afrika, dan Amerika Latin sebagai langkah strategis untuk memperluas basis ekspor. Menurutnya, langkah ini harus menjadi prioritas utama jika Indonesia ingin meningkatkan daya saing di pasar global.

Dalam pandangannya, janji-janji politik yang berusaha meyakinkan publik tentang potensi pertumbuhan ekonomi tinggi tanpa strategi yang jelas adalah bentuk pengkhianatan terhadap harapan rakyat. Didik menutup analisanya dengan menekankan pentingnya reformasi besar-besaran, terutama di sektor industri dan pengelolaan fiskal. Ia menilai bahwa tanpa keberanian untuk melakukan perubahan mendasar, perekonomian Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran stagnasi yang tidak memberikan prospek cerah bagi masa depan.