share

Indonesia Berpotensi Menjadi Negara dengan PPN Tertinggi di ASEAN: Dampaknya pada Ekonomi dan Kehidupan Masyarakat

November 28, 2024

Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% tengah menjadi sorotan utama dalam wacana kebijakan fiskal nasional. Jika kebijakan ini direalisasikan, Indonesia akan menempati posisi teratas sebagai negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN, sejajar dengan Filipina yang saat ini sudah memberlakukan tarif yang sama. Langkah ini dipandang signifikan, terutama mengingat posisi Indonesia dalam dinamika ekonomi regional, di mana negara-negara tetangga cenderung memberlakukan tarif yang lebih rendah.

Berdasarkan data terkini, mayoritas negara ASEAN masih mempertahankan tarif PPN yang relatif moderat. Vietnam dan Kamboja, misalnya, masing-masing memberlakukan tarif sebesar 10%. Singapura, yang dikenal sebagai salah satu negara maju di kawasan ini, menetapkan tarif PPN 9%. Thailand dan Laos memilih angka 7%, sementara Malaysia mematok tarif sebesar 6%. Myanmar, meski menghadapi tantangan politik dan ekonomi, hanya mengenakan tarif PPN sebesar 5%. Di ujung spektrum, Timor Leste menetapkan tarif paling rendah, yakni 2,5%.

Di tengah peta ini, kebijakan menaikkan PPN hingga 12% menimbulkan berbagai pertanyaan, terutama terkait dampaknya terhadap ekonomi domestik. Laporan dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) menggarisbawahi sejumlah risiko yang signifikan. Kebijakan ini diprediksi akan meningkatkan beban ekonomi masyarakat, terutama kelompok rentan dan berpenghasilan rendah. Lonjakan harga barang dan jasa, sebagai dampak langsung dari kenaikan tarif, diyakini akan mengurangi daya beli masyarakat. Dalam laporan tersebut, LPEM UI menyebut bahwa langkah ini dapat memperburuk kemiskinan dan kesenjangan sosial, mendorong lebih banyak rumah tangga jatuh di bawah garis kemiskinan.

Efek distribusi dari kenaikan tarif ini juga tidak bisa diabaikan. Analisis LPEM UI menunjukkan bahwa rumah tangga termiskin akan menanggung beban yang jauh lebih besar dibandingkan kelompok berpenghasilan tinggi. Dalam simulasi mereka, kelompok rumah tangga termiskin diproyeksikan menghadapi kenaikan beban sebesar 0,86% poin, sementara kelompok terkaya hanya akan mengalami kenaikan beban sebesar 0,71% poin. Ketimpangan ini semakin terlihat jika membandingkan situasi saat tarif PPN dinaikkan dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022. Saat itu, kelompok termiskin mencatat kenaikan beban sebesar 0,71% poin, sedangkan kelompok terkaya hanya mengalami kenaikan sebesar 0,55% poin.

Beban ekonomi yang meningkat ini juga memengaruhi konsumsi rumah tangga, yang merupakan salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan harga barang kebutuhan pokok yang semakin mahal, masyarakat berpenghasilan rendah cenderung memangkas pengeluaran mereka, baik untuk kebutuhan dasar maupun kebutuhan lain yang dianggap tidak mendesak. Penurunan konsumsi ini, jika meluas, dapat menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam konteks ini, kebijakan menaikkan tarif PPN memerlukan pertimbangan yang sangat hati-hati, terutama karena dampaknya yang luas terhadap berbagai lapisan masyarakat.

Dampak regresif dari kebijakan ini juga terlihat jelas ketika dianalisis berdasarkan tingkat pendapatan. Kenaikan tarif PPN diproyeksikan akan memberikan tekanan terbesar pada rumah tangga di persentil ke-20 hingga ke-22, yang mengalami kenaikan beban sebesar 0,91% poin. Sebaliknya, kenaikan beban untuk kelas atas hanya sebesar 0,62% poin. Ketimpangan ini mengindikasikan bahwa kebijakan PPN cenderung membebani kelompok rentan secara tidak proporsional, memperburuk kesenjangan ekonomi yang sudah ada.

Di sisi lain, pemerintah berargumen bahwa kenaikan tarif PPN bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, terutama dalam menghadapi tantangan ekonomi global dan kebutuhan pembiayaan pembangunan. Namun, tujuan ini harus diseimbangkan dengan kenyataan di lapangan, di mana sebagian besar masyarakat masih menghadapi tekanan ekonomi akibat inflasi, kenaikan harga bahan pokok, dan ketidakpastian ekonomi pasca-pandemi.

Dalam konteks regional, kebijakan ini juga menimbulkan dilema kompetitif. Dengan tarif PPN yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga, Indonesia berisiko kehilangan daya saing dalam menarik investasi asing dan mempertahankan stabilitas konsumsi domestik. Negara-negara seperti Malaysia dan Thailand, dengan tarif yang lebih rendah, memiliki keunggulan dalam menciptakan iklim bisnis yang lebih ramah.

Sebagai negara dengan populasi besar dan tingkat ketergantungan tinggi pada konsumsi rumah tangga, Indonesia perlu mengkaji lebih jauh implikasi dari kebijakan ini. Kebijakan fiskal yang efektif harus mampu menyeimbangkan kebutuhan pendapatan negara dengan kemampuan masyarakat untuk bertahan dan berkembang di tengah tantangan ekonomi yang semakin kompleks.