Beijing – China mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% pada kuartal II 2025, namun di balik angka tersebut, tekanan sosial dan ekonomi kian dirasakan oleh jutaan pekerja. Pemotongan gaji, keterlambatan pembayaran, dan ketergantungan pada pekerjaan sampingan kini menjadi gambaran nyata kehidupan masyarakat kelas pekerja di negeri tirai bambu.
Zhang Jinming, pegawai di sebuah perusahaan milik negara di sektor properti, harus menerima pemotongan gaji sebesar 24%—dari 5.500 yuan menjadi 4.200 yuan per bulan. Untuk menutupi kekurangan, ia kini mengantar makanan setiap malam hingga pukul 23.30 dan juga di akhir pekan. Ia menghasilkan tambahan sekitar 60–70 yuan per hari. “Banyak rekan sudah resign. Saya ambil alih pekerjaan mereka,” ujarnya.
Fenomena ini mencerminkan dampak dari model pertumbuhan China yang masih sangat bergantung pada ekspor, dengan dukungan besar terhadap industri dan manufaktur—namun minim dorongan terhadap konsumsi domestik. Persaingan ekspor yang semakin ketat dan tekanan dari perang dagang membuat banyak perusahaan menekan biaya operasional, termasuk lewat pemangkasan tenaga kerja dan upah.
Gaji Tertunda, Konsumsi Menurun
Kondisi juga sulit bagi pegawai sektor pendidikan. Seorang guru di Chongzuo, Guangxi, mengatakan bahwa sekolahnya belum membayar gaji selama 2–3 bulan karena menunggu dana dari pemerintah lokal. “Saya bertahan hidup dari bantuan orang tua. Kalau sudah berkeluarga dan punya cicilan, saya pasti kewalahan,” katanya.
Di Linquan, Anhui Timur, seorang guru lain hanya menerima gaji pokok sebesar 3.000 yuan per bulan. Komponen berbasis kinerja yang biasanya mencakup 16% dari total gaji, terus tertunda. “Habis bayar bensin dan parkir, uangnya tidak cukup untuk belanja bulanan,” ujar guru tersebut, yang minta namanya disamarkan.
Menurut data resmi, tunggakan pembayaran di sektor manufaktur komputer dan elektronik naik 16,6% dalam setahun hingga Mei, lebih tinggi dari rata-rata nasional 9%. Sektor otomotif mencatat kenaikan 11,2%. Ini mencerminkan krisis likuiditas yang tersembunyi, terutama di sektor yang dimiliki atau didukung oleh negara.
Daya Beli Tertekan, Lapangan Kerja Menyempit
Penurunan pendapatan mendorong konsumen menunda belanja, meningkatkan risiko deflasi yang berkepanjangan. Huang Tingting, mantan pelayan restoran di Jiangsu, berhenti bekerja pada Juni setelah pendapatan restoran turun drastis. Pemilik usaha memotong hari kerja tanpa bayaran sebanyak empat hari per bulan. “Biasanya saya dapat pekerjaan baru dalam dua hari. Sekarang sudah sebulan belum dapat,” ujarnya.
Pasar tenaga kerja pun makin kompetitif. “Satu lowongan bisa diperebutkan oleh lebih dari 10 pelamar,” tambahnya.
Ketimpangan Model Pertumbuhan
Ekonom menyebut kondisi ini sebagai “dual-speed economy”—di mana industri tumbuh pesat, namun konsumsi rumah tangga dan kesejahteraan warga tertinggal. Dr Max Zenglein dari Conference Board Asia mengatakan, “Sebagian besar tekanan deflasi dan rendahnya profitabilitas industri bersumber dari ekspansi kapasitas yang terus-menerus, sementara permintaan domestik tidak mengikuti.”
Meski pemerintah China telah berulang kali menyuarakan pentingnya memperkuat konsumsi, kebijakan fiskal dan insentif masih lebih berpihak pada eksportir dan pelaku industri besar. Tanpa perubahan strategi ke arah penguatan sektor domestik seperti pendidikan, layanan kesehatan, dan jaring pengaman sosial, risiko perlambatan di paruh kedua tahun ini akan semakin nyata.