Jakarta — Ketegangan dagang global kembali memanas setelah China mengeluarkan peringatan keras terhadap negara-negara yang melakukan negosiasi tarif dengan Amerika Serikat. Melalui pernyataan resmi dari Kementerian Perdagangan, Beijing menegaskan bahwa pihaknya siap memberikan sanksi kepada negara yang dianggap mengorbankan kepentingan China dalam rangka mendapat keringanan tarif dari Washington.
Pernyataan itu muncul setelah Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif dasar sebesar 10 persen bagi hampir seluruh negara, sementara China menerima beban lebih berat dengan tarif mencapai 145 persen, serta tarif resiprokal hingga 245 persen. Sebagai respons, China menaikkan tarif impor terhadap produk AS hingga 125 persen.
“China menentang keras segala bentuk kesepakatan yang merugikan kami. Jika ada negara yang melemahkan posisi kami demi keuntungan sendiri, kami akan menanggapi secara tegas,” ujar juru bicara Kementerian Perdagangan China, dikutip dari AFP. Dalam pernyataan itu, China juga mengimbau negara mitra untuk tidak bersikap lunak terhadap tekanan tarif dari Trump, karena kompromi dinilai tidak akan membawa solusi jangka panjang.
Sementara itu, Indonesia menegaskan tidak akan mengubah arah kebijakan dagang nasional. Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Djatmiko Bris Witjaksono, menyatakan bahwa Indonesia akan tetap menjalin kerja sama dengan semua mitra dagang, termasuk AS dan China, tanpa berpihak.
“Kita tetap menjalankan hubungan perdagangan seperti biasa. Indonesia tidak akan terpengaruh oleh tekanan eksternal dalam menentukan arah kebijakan,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (21/4).
Menanggapi situasi ini, Analis Senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menyatakan bahwa posisi Indonesia memang sangat strategis sekaligus rentan. Menurutnya, pemerintah perlu melakukan pendekatan diplomatik yang cermat agar tidak terjebak dalam tarik menarik kepentingan antara dua kekuatan ekonomi global tersebut.
“Ibarat mendayung di antara dua kapal besar, Indonesia harus mampu menjaga keseimbangan. Kita bisa melakukan negosiasi dengan AS selama tidak merugikan kepentingan China, dan sebaliknya,” tegas Ronny.
Ia menyarankan agar pemerintah melakukan pemetaan ulang atas produk-produk yang krusial dari kedua negara, dan memastikan bahwa pergeseran pola perdagangan tidak memicu konflik kepentingan atau disrupsi ekonomi domestik.