Jakarta — Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebesar US$800 juta pada kuartal I 2025 menandai pergeseran penting dalam dinamika eksternal ekonomi nasional. Meski nilainya jauh lebih rendah dibandingkan surplus US$7,9 miliar di kuartal sebelumnya, implikasinya terhadap stabilitas makro dan persepsi pasar tetap signifikan.
Bank Indonesia menyatakan defisit ini masih dalam kategori moderat. Transaksi berjalan mencatat defisit US$0,2 miliar (0,1 persen dari PDB), menunjukkan tekanan eksternal yang relatif terkendali meski terdapat perlambatan ekonomi global dan ketidakpastian pasar.
Analisis struktural menunjukkan surplus perdagangan barang meningkat, terutama karena performa ekspor nonmigas yang kuat. Namun, sisi negatifnya adalah pelemahan neraca jasa, yang sebagian besar disebabkan turunnya kontribusi sektor pariwisata. Defisit neraca pendapatan primer juga naik akibat pembayaran imbal hasil investasi portofolio.
Cadangan devisa Indonesia tetap kuat di angka US$157,1 miliar. Ini menjadi penyangga utama dalam menghadapi potensi gejolak arus modal jangka pendek dan volatilitas nilai tukar. Cadangan tersebut mencukupi pembiayaan 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri.
Sementara itu, transaksi modal dan finansial mencatat defisit US$0,3 miliar. Komponen investasi langsung tetap positif, menunjukkan daya tarik struktural Indonesia di mata investor. Namun, penurunan penarikan pinjaman dan peningkatan investasi swasta ke luar negeri menekan stabilitas sisi finansial.
Kebijakan Bank Indonesia tetap fokus pada bauran yang responsif, termasuk koordinasi kebijakan fiskal-moneter dan penguatan komunikasi kepada pelaku pasar. Dalam konteks jangka menengah, fokus akan diarahkan pada penyeimbangan transaksi berjalan dan peningkatan ketahanan eksternal.
Prospek NPI untuk sisa 2025 dipandang masih positif, dengan proyeksi defisit transaksi berjalan tetap dalam batas aman, serta potensi kelanjutan surplus dari arus masuk investasi asing, khususnya pada instrumen portofolio dan proyek infrastruktur.