New York — Konsep “presence” atau kehadiran profesional selama ini identik dengan cara seseorang membawa diri di ruang rapat, konferensi, atau pertemuan tatap muka. Namun, di era digital dan kerja hibrida, makna tersebut mengalami pergeseran signifikan. Forbes 2025 mencatat bahwa kesan pertama kini lebih sering terbentuk melalui layar Zoom, pesan Slack, atau profil LinkedIn, bukan lagi sekadar jabat tangan di ruang pertemuan.
Riset menunjukkan bahwa kesan pertama terbentuk hanya dalam hitungan detik dan dapat bertahan lama. Hal ini membuat kehadiran digital menjadi faktor penting dalam membangun reputasi profesional. Lorraine K. Lee, penulis Unforgettable Presence, menekankan bahwa “presence” bukan lagi sesuatu yang bisa diaktifkan hanya saat tampil di depan umum, melainkan harus konsisten tercermin dalam interaksi digital sehari‑hari.
Perubahan ini menuntut profesional untuk lebih sadar terhadap bahasa tubuh virtual, kualitas komunikasi tertulis, hingga cara mereka mengelola identitas daring. Sebuah profil LinkedIn yang terstruktur rapi, partisipasi aktif dalam diskusi digital, dan kemampuan menyampaikan pesan singkat namun kuat kini menjadi bagian dari strategi membangun kehadiran.
Bagi pemimpin, tantangan semakin kompleks. Mereka dituntut tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga mampu menciptakan kehadiran yang autentik dan berpengaruh di ruang digital. Hal ini mencakup kemampuan memimpin rapat virtual dengan efektif, menjaga keterlibatan tim jarak jauh, serta menumbuhkan rasa percaya melalui medium daring.
Fenomena ini juga menyoroti pentingnya kecerdasan emosional dalam komunikasi digital. Nada suara, ekspresi wajah, hingga kecepatan merespons pesan dapat memengaruhi bagaimana seseorang dipersepsikan oleh kolega maupun klien. Dengan kata lain, kehadiran digital bukan hanya soal teknologi, tetapi juga tentang sensitivitas interpersonal.
Dalam konteks yang lebih luas, redefinisi “presence” ini mencerminkan transformasi budaya kerja global. Perusahaan yang mampu membekali karyawannya dengan keterampilan komunikasi digital akan lebih siap menghadapi tantangan kolaborasi lintas batas dan zona waktu.
Kesimpulannya, kehadiran profesional di era digital tidak lagi terbatas pada ruang fisik. Ia kini menjadi kombinasi antara keterampilan komunikasi, pengelolaan identitas daring, dan kecerdasan emosional. Para profesional yang mampu menguasai aspek‑aspek ini akan memiliki keunggulan kompetitif dalam membangun karier dan kepemimpinan di masa depan.
