share

Perlu Konsistensi untuk Rasakan Manfaat Energi Hijau

Indonesia tengah berada di persimpangan jalan penting dalam transisi menuju energi hijau. Potensi luar biasa dari pasar karbon global, yang diperkirakan dapat menghasilkan pendapatan sebesar Rp8.000 triliun, menawarkan peluang strategis untuk mengubah perekonomian nasional. Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Investasi, Hilirisasi, dan Lingkungan Hidup Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Bobby Gafur Umar, menyoroti pentingnya peran Indonesia sebagai salah satu pemain kunci dalam pasar karbon global. Hal ini disampaikan dalam forum Executive Forum bertajuk Menggali Sektor Kunci Investasi Berkelanjutan di Indonesia yang diadakan di Jakarta pada Senin (18/11).

Bobby mengungkapkan bahwa untuk mengoptimalkan potensi pasar karbon, pemerintah harus merancang peta jalan yang komprehensif dan inklusif. Salah satu langkah krusial adalah meningkatkan pengakuan kredit karbon melalui instrumen seperti Sistem Registri Nasional Perubahan Iklim (SRN-PPI) dan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI). Langkah ini akan memastikan bahwa karbon dapat diolah menjadi komoditas bernilai jual tinggi dalam pasar karbon sukarela (Voluntary Carbon Market). “Kita harus bisa mendorong sektor swasta untuk turut serta menghasilkan karbon yang dapat dijual di pasar,” tegas Bobby.

Meski begitu, pelaksanaan sistem perdagangan karbon di Indonesia masih menemui berbagai tantangan. Salah satunya adalah penundaan implementasi aturan pajak karbon yang awalnya direncanakan berlaku pada 2022 menjadi 2025. Penundaan ini, menurut Bobby, menghilangkan daya tekan untuk mendorong pengurangan emisi dan mempercepat transisi energi. Padahal, Indonesia menghadapi masalah serius, seperti pengelolaan sampah yang masih minim, yang menghasilkan gas metan 20 kali lebih merusak dibandingkan karbon dioksida. Bobby mengingatkan bahwa penerapan pajak karbon akan memberikan tekanan finansial pada pelaku industri, termasuk sektor pengelolaan sampah, untuk beralih ke praktik yang lebih ramah lingkungan.

Dalam upaya mendukung pasar karbon, Indonesia telah meluncurkan bursa karbon berbasis kepatuhan di bawah Bursa Efek Indonesia (BEI). Namun, perkembangannya masih lambat. Hingga Juli 2024, hanya terdapat tiga proyek dengan 69 peserta, menghasilkan nilai transaksi sebesar Rp5,9 miliar—angka yang dianggap terlalu kecil dibandingkan potensi yang ada. Bobby menggambarkan situasi ini seperti membuka toko tanpa memiliki barang dagangan akibat regulasi yang belum lengkap. Ia mendesak agar RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) segera disahkan untuk memberikan dasar hukum yang kuat bagi pengembangan sektor ini.

Dalam Rencana Umum Pembangkit Tenaga Listrik (RUPTL), Indonesia berencana membangun 100 gigawatt kapasitas energi terbarukan dalam 15 tahun mendatang, di mana 75% di antaranya berasal dari energi baru terbarukan. Untuk mencapai target ini, diperlukan investasi sebesar USD 100 miliar. Sementara itu, Indonesia juga memperoleh pendanaan hijau sebesar €1,2 miliar dari Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) untuk sektor ketenagalistrikan, hasil dari pertemuan COP29 di Baku, Azerbaijan.

Di sisi lain, peran parlemen menjadi kunci dalam memastikan keberlanjutan transisi energi. Wakil Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suparwoto, mengungkapkan bahwa inisiatif untuk mendorong RUU EBT telah dilakukan, dengan naskah akademis yang disepakati berbagai pihak. Namun, pengesahan RUU ini terhambat oleh isu power wheeling—mekanisme yang memungkinkan pihak swasta menjual listrik langsung ke masyarakat melalui jaringan PLN. Sugeng menegaskan bahwa tanpa power wheeling, pengembangan energi baru terbarukan akan sulit terealisasi.

Selain RUU EBT, parlemen juga tengah merancang undang-undang tentang minyak dan gas yang akan mencakup pembentukan dana minyak dan gas (oil and gas fund). Dana ini diharapkan menjadi instrumen strategis untuk mendukung eksplorasi energi fosil di masa transisi, serupa dengan dana perkebunan kelapa sawit yang sukses mendorong replanting.

Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi, Edy Junaedi, menambahkan bahwa keberhasilan transisi energi hijau memerlukan kolaborasi lintas kementerian. Ia menekankan pentingnya kerja sama antara Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Perindustrian untuk memastikan kebijakan energi hijau membawa manfaat maksimal bagi Indonesia. Menurutnya, pendekatan holistik sangat penting agar kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan segelintir pihak atau negara lain.

Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkan potensi pasar karbon dan energi hijau. Namun, untuk benar-benar merasakan manfaatnya, diperlukan konsistensi, koordinasi lintas sektor, dan regulasi yang kuat. Inilah momen bagi Indonesia untuk menunjukkan kepemimpinannya dalam transisi energi global.